Hari ini saya sudah sehari lebih melewati umur 25 tahun. Konon katanya saya sebenarnya lahir pada dua Oktober, dini hari? Entah jadinya tercatat 1 Oktober di akte. Saya tidak tahu, tapi selama ini keluarga saya mengganggap saya lahir pada 1 Oktober. Sudahlah diterima saja.
Sudah lima tahun yang lalu, di warnet depan pasar Demangan jalan Gejayan, di samping swalayan yang mungkin sekarang sudah tutup karenanya maraknya Indomaret, saya menulis sebuah perenungan usia, waktu itu untuk pertama kalinya kalau saya menulis usia saya, saya harus menggunakan angka 2. Di warnet itu saya menulis harapan-harapan saya terkait kegiatan saya menjadi mahasiswa. Kalau dilihat 5 tahun itu, banyak hal yang terjadi pada kehidupan saya.
Apa yang sama dengan situasi 5 tahun yang lalu adalah tiba-tiba penyakit untuk berhenti mengarungi hidup yang fana ini menyeruak kembali. Jika dulu, saya mencoba meniru-niru seperti gaya pemikirannya Soe Hoek Gie, sekarang ya kayak Soe Hoel Gie lagi! hehehe. Mungkin pikiran saya lagi-lagi tidak dibuat simpel, sehingga terlalu melompat-lompat pada sekuel-sekuel kehidupan yang terlalu jauh, yang pada akhirnya mencapai sebuah kesimpulan bahwa dunia ini sangat fana. Keberhasilan, kejayaan, kegemilangan dan lain sebagainya, meskipun atas nama kebenaran, toh pada akhirnya berputar. Ia kalah dan menang, begitu seterusnya. Lalu buat apa harus diperjuangkan? Toh akhirnya dunia ini akan hancur dan musnah.
Katannya umur 25 adalah umur yang krusial untuk mencari pendamping hidup. Pasangan hidup akan memberikan motivasi dan optimisme hidup. Memang, tapi bagi saya sekarang, tiba-tiba semangat itu hilang. Seolah-olah dalam hati berani mengatakan, "Tanpa pasangan hidup pun aku bisa menjalani hidup ini". Caeeelah... sok banget! Mungkin yang harus saya akui, hormon dalam tubuh 25 tahun memang berbeda jauh dengan umur 20 tahun. Mungkin itu sebabnya banyak yang mengatakan bahwa umur ini adalah umur yang krusial. Hahaha, manusia memang tidak bisa lepas dari pengaruh dari tuntutan jasad-jasadnya.
Pesimisme! itu memang topik utama dalam mengari hidup seperempat abad ini. Tapi saya juga tahu bahwa ini semua hanya dinamika. Saya pernah melawan gaya filsafat pesimisme itu. Saya pernah melewatinya, dan mengapa sekarang saya harus tidak bisa? Mengubhanya menjadi sebuah sikap optimistik?
Ada masalah-masalah besar yang saya baru lalui dalam beberapa tahun terakhir ini. Salah satunya, Saya anggap sekarang sudah selesai. Saya tidak mau mengambil banyak pemikiran lagi atas masalah yang satu itu. Memang tentu saja tidak bisa juga dilupakan begitu saja, tapi masalah ini sekarang saya kondisikan dalam keadaan yang lebih pada bentuk kepasrahan saya kepada Allah atas segala hasilnya. Sebagai hamba, saya akan bersikap pasif mulai malam ini. Yang jelas, bagi saya, usaha sudah saya lakukan semaksimal yang saya bisa.
Adanya juga masalah lain, yang mulai malam ini harus saya bangkitkan semangat untuk menyelesaikannya. Ya, momentumnya pas. Semangat kawan-kawan, guru dan lain sebagainya. Saya pikir ini adalah saatnya untuk mulai memikirkannya lagi. Semangat!
Nah, di saat yang lain saya sedang mulai asyik pada projek-projek sosial, Ekonom Gila, Pengajian, Wiratama Instiute dan Alumni BEM KM, dan Iternet UKM. Saya harap itu semua tidak membuat saya lupa masalah-masalah saya yang harus segera diselesaikan. Alhamdulillah, projek bantu-bantu di PEACH PSEKP, yang awalnya saya merasa takut karena projek ini didanai sebuah institusi internasional yang cukup saya "benci", namun ternyata memberikan penghidupan yang sedikit layak tanpa harus menggerus idealisme saya. :P. Projek ini semoga benar-benar berguna bagi Indonesia Raya.
Kembali ke pesimisme. Ya, dalam mengerjakan itu semua, saya sedang belajar mengkonversi pesimisme ini ke arah optimise. Pesimisme memang paling asyik dijawab dengan sebuah momentum "kematian". Mengakhiri hidup, lalu bertemu Tuhan dan bertanya atas segala pertanyaan yang tak terjawab di dunia. Asyik kan? Tapi ada masalah, bentuk kematian itu tidak ada yang bisa tahu seperti apa: apakah dalam keadaan baik? ataukah bagus? iya kalau bagus? kalau jelek? Nah loh!
Akhirnya sekali lagi, dengan tertatih-tatih aku akan jalani hidup ini. Bukan tertatih-tatih karena badanku yang ringkih. Bukan karena perasaanku yang bersedih. Tapi tertatih-tatih menahan semua kegelisahan dunia fana yang di dalam otakku selalu berteriak-teriak soal ini dan soal itu, kenapa juga aku dikasih otak yang sukanya "mikir", hahahahahhahaha. Tapi saya masih ingat sekali, ketika titik optimisme itu memuncak, sesaat kemudian munculah cahaya terang! sekarang saya sambut cahaya itu.... :D
~ Renungan Seperempat Abad ~
Ya Allah Jika Kau berikan umurku pendek, barokahkanlah, jika Engkau memberikan umurku Panjang, lebih barokahkanlah... aamiin..
selamat 25!.. :D
BalasHapus