Sesuatu yang mungkin sekitar 10 tahun lalu muncul dan sekarang berkembang menjadi sebuah label bagi sesuatu yang bersifat rendahan atau bisa jadi tidak beradab atau yah seengkanya dicap berperadaban rendah.
Awalnya, tetiba saja, ketika ingin menikmati Youtube, muncul lagi iklan-iklan dari Ramayana dengan kampanye "Keren Adalah Hak Segala Bangsa" dengan berbagai jenis variasi iklannya. Sesuatu yang pada awalnya menggelitik saya. Lalu saya teringat kampanye-kampanye iklan sejenis macam ini dari beberapa pesaingnya seperti MatahariMall dengan kampanye "Emang Udah Lebaran", tidak ketinggalan SalesStock menggunakan trik yang sama dengan kampanye "Catwalk Nusantara"
Ramayana
MatahariMall
Sales Stock
Apa yang lalu terjadi pada saya setelah merenungi video-video ini? Seketika saya teringat dengan video klip Kangen Band! Hahahahahaha. Ya pioneer dari budaya pop alay yang sempat "mewabah" di Indonesia sekitar 10 tahun silam yang cukup bertahan panjang mewarnai industri musik Indonesia. Tanpa adanya Kangen Band, mungkin kita tidak akan pernah mendengr nama-nama band seperti ST12 atau Wali Band (belum beberapa band yang ketenarannya masih sedikit di bawah mereka seperti Hijau Daun, Low Bow)
Hahahahahaha. Ini kamu ada apa sih Ul?
Ok, sebenarnya satu hal yang saya temukan benang merah antara video-video kampanye dari Ramayana, MatahariMall dan SalesStock di atas adalah, bagaimana kampanye iklan yang tentu saja di belakangnya berjejer para tim kreatif dari agencies bonafite, pada akhirnya pun terlihat tidak jauh berbeda dengan konsep "pecintraan" budaya yang dibawakan oleh Kangen Band.
Ya alay, sesuatu yang mungkin bagi sebagian kelompok yang merasakan bagian dari kelompok modern atau classy, akan mencaci atau setidaknya merendahkan selera dari kelompok fans Kangen Band, yang mungkin mayoritasnya adalah kelompok anak muda yang berpendidikan rendah, tidak pernah kuliah di kampus-kampus unggulan, anak dari bukan dari orang yang berada atau sebagainya. Sehingga stigma yang ada adalah alay adalah budaya orang "rendahan".
Sejujurnya, meski saya berkuliah di kampus yang "bagus", di jurusan yang bagus (oke, beneran bagus hahahah), dengan terpapar berbagai konsep-konsep peradaban modern, sedikit bisa menikmati musik jazz, pada akhirnya, saya sendiri juga menyukai salah satu lagu kangen Band yang berjudul "Doy". Hahahahahaha! (wah bisa ketahuan fans kangen band nih!)
Oke, saya suka musik dari lagu ini karena bagi saya banyak instrumen-instrumen dan mixing yang tidak datar-datar saja. Entahlah, bagi seseorang yang mendalami musik secara formal, mungkin akan melihat ini biasa-biasa saja. Tapi bagi saya, ada sesuatu yang unik dari lagu Doy ini, seperti instrumen gitarnya, bass-nya yang cukup enak diikuti, hingga suara sinden yang masuk di salah satu bagian lagu (dan tentu saja si Monyet yang entah kenapa selalu muncul di video-video klip Kangen Band). Yang mana ini bagi saya jauh lebih menarik perhatian ketimbang ketika mendengarkan lagu-lagu dari band seperti Peter Pan, Jikustik, Tiket, atau sebutlah nama-nama band anak muda yang kelihatan lebih "urban" ketimbang Kangen Band.
Nyatanya, gitaris dari Kangen Band ini, Dhody, harus saya akui memiliki skill gitar yang sangat bagus. Saya jadi ingat band Dragon Force kalau lihat dia main gitar. Hmmm, kalau melihat Dhody dalam projek Band Winner yang dibuat bersama Posan, drummer Kotak Band, lagunya keren-keren. Bisa dilihat dari lagunya yang juga unik kayak yang Berjdul Pusing ini.
Lalu apa poinnya?
Bagi saya, budaya alay terlalu direndahkan sebagai budaya rendahan, karena 1) nyatanya para pelaku dan pengusung genre alay adalah orang-orang yang sangat melek dengan seni dan mengusai teknik berseni; dan 2) pada akhirnya iklan-iklan masa kini pun banyak yang menerapkan nilai yang sama, dengan berwujud pada style "alay" untuk mengusung kampanye-kampanye iklan kekinian.
Ketika berbicara sesuatu produk dalam negeri, seperti alay, seketika itu juga kita akan melihatnya lebih rendah ketimbang budaya pop luar negeri. Padahal, menurut saya, justru alay ini salah satu produk budaya yang ternyata mampu diterima oleh orang asing. Ya, mungkin Kangen Band bisa merambah pasar Malaysia, tapi jangan lupa lagu-lagu Wali Band, yang lagu pernah diadaptasi oleh Fabrio Faniello, seorang artis "entah berantah" dari Malta.
Nah, seenggaknya, lagu Indonesia ber-genre alay ini tertangkap radar oleh orang yang nun jauh di sana (konon, katanya lagu ini juga laris di sana). Ok, masalah taste ini mungkin debatable, bagi seniman musik dengan penerapan disiplin ilmu musiknya yang tinggi, musik-musik macam ini mungkin tetap saja dianggap rendahan.
Tapi setidaknya, logika ini juga bisa digunakan untuk membalik anggapan bahwa arus budaya yang hadir dari bangsa-bangsa di luar Indonesia juga bisa tidak serta merta merupakan budaya-budaya dengan taste atau cita rasa yang lebih tinggi. Sebut saja, korean wave hingga budaya Pop American Idol. Bahkan band Punk Rock, Green Day, terang-terangan mengkritisi budaya pop ini sebagai sebagai bentuk idiocy dari US.
Akhirnya, dari sekian panjang "celotehan" ini saya teringat satu Video dari Crash Course untuk Seri Sejarah Dunia, yang berjudul Rethinking Civilization. Bahwa sebenarnya kita harus benar-benar memikirkan ulang tentang arti "beradab", dalam konteks yang luas, atau bahkan dalam konteks yang spesifik seperti pertarungan genre alay dengan para pecinta musik classy (dan mungkin simply, pecinta musik barat yang merasa alergi dengan musik Indonesia). Video ini menjelaskan bahwa tanda-tanda peradaban yang biasanya ditunjukan dengan hadirnya sebuah "tatanan pemerintahan", bisa jadi bukanlah sesuatu hal yang mutlak beradab. Wilayah-wilayah stateless, bisa jadi adalah bentuk "peradaban" dalam warna yang berbeda atau dalam alam berpikir yang berbeda.
Apakah memang sesuatu yang selama ini kita anggap tidak "beradab" memang benar-benar sesuatu yang lebih rendah, lebih tidak modern, lebih tidak classy? Atau jangan-jangan kita hanya terjebak dalam alam berpikir demikian, yang bisa jadi hanya karena kita sendiri - yang merasa beradab - tidak pernah merasakan bagaimana menjadi masyarakat "berperdaban rendah". Kita sendirilah yang menciptakan gambaran akan adanya kelas atas-kelas bawah, bangsa beradab-bangsa terbelakang. Bisa jadi, mereka yang kita cap sebagai tidak beradab, tidak classy, atau mereka yang alay, sesungguhnya memiliki alam kesadaran dan rasionalitas mereka sendiri atas apa yang mereka pilih untuk menjadi "tidak beradab".
Lebih-lebih, menganggap beradab hanya sekadar dari unsur taste atau bahkan fashion, yang uniknya itu adalah pernik-pernik kehidupan yang hanya berputar-putar seperti sebuah siklus, dan bukannya sesuatu yang bersifat maju (progressif) dan sustain.
Mengejar pencerahan tentang kehidupan dan alam berpikir di dalamnya, dalam wujud apapun: pendidikan, pembinaan, pemberdayaan, sinergi, kolaborasi, atau pun dialektika, bisa jadi menjadi satu-satunya pertanda yang paling terang soal tingkat peradaban manusia.
0 komentar:
Posting Komentar