Akhir Mei...,
Sebuah bulan yang beberapa tahun silam sempat menjadi bulan "canda-canda-an" bagi mereka yang belum menikah-menikah.
A: "Hai, kapan nikah?"
B: "May...." (dengan kata dalam bahasa inggris)
A: "Wahh...selamat ya!"
B: "May..be Yes, May be no, May..be next year, May..be tomorrow"
Oke. Intro tidak penting.
Intro ini terinspirasi dari film yang tanpa intensi saya tonton malam ini. "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck". Karena di ceritanya, sang tokoh utama selalu batal untuk menikah.
Apa sebab? - maksudnya adalah sebab saya tetiba menonton film ini -. Jika sebab ini dirangkai, maka panjanglah jua jalan ceritanya. Hidup ini memang, rangkaian sebab-akibat-sebab yang tiada putus-putus. Entah akhirnya berakhir indah atau sedih, selalu ada hikmah di dalamnya. Hikmah yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang berhati bersih dan berakal jernih.
Film ini adalah adaptasi dari sebuah karya novel besar. Buah karya Buya Hamka, atau yang dengan nama lengkapnya Abdul Malik Karim Amrullah. Novel dengan judul yang sama, menceritakan kisah cinta anak manusia yang dibalut dalam situasi budaya dan agama yang kental, dunia sastra yang kuat, serta kritik atas kesia-siaan sebagiannya adat istiadat.
Lalu kembali, apa pula yang membuat saya jadi tertotonkan film ini?
Bermula dari cerita tentang agenda saya untuk melakukan "peremajaan" otak dan pikiran dengan asupan-asupan Novel kaya hikmah dan pesan moral karangan Tere Liye dari teman saya yang berkantor tak jauh dari tempat kerja saya (kira-kira hanya dua lemparan batu). Setiap minggu saya pinjam dari dia satu novel, hingga novel terakhir yang saya pinjam berjudul: Bidadari-Bidadari Surga. Sebuah Novel, yang juga sempat difilmkan.
Bukannya saya amat ingin menonton film itu, saya hanya penasaran bagaimana sebuah novel karangan T.L ini difilmkan. Saya tak pernah sempat menonton film-film adaptasi dari Novel T.L, maka, saya berlaku curang, mencari streaming-an di internet. Karena tak bisa pula saya temukan film ini di teater ataupun toko-toko. Ini film sudah cukup lama hilang di pasaran.
Sementara itu, beberapa saat sebelum mencari film itu di dunia maya, saya tanpa ada sebab yang khusus, terpaut pada sebuah posting senior saya. Entahlah, senior atau kolega atau saudara, saya pun bingung, karena dengannya hanya sekali saya bertemu, tapi serasa sudah dekat dan kenal lama. Di postingannya saya melihat Mars Panggilan Jihad karangan Buya Hamka. Ya, saya kenal lagu ini...lagu perjuangan...
Pencarian film Bidadari-Bidadari Surga gagal. Tak saya temukannya di streaming online. Hanya file yang harus di-download terlebih dahulu. Malas men-download, saya malah mengingat Buya Hamka. Saya telusuri saja profilnya di Wikipedia. Tersadar bahwa, pimpinan pertama MUI ini adalah juga seorang sastrawan. Ia lah sang penulis Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Harus saya akui, saya malah menemukan sebuah website yang berisikan streaming online film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Banyak film Indonesia di sana. Lalu, jadi pulalah saya tonton film ini karena melihat trailernya yang apik. Saya suka film dengan detail yang baik, seperti penggunaan bahasa daerah dan Bahasa Belanda yang ada di film ini. (Saya selalu bermimpi ada film macam Kerajaan Majapahit atau Kerjaan Mataram atau Kerjaan Banten yang epik dan kolosal, dengan sebenar-benarnya menggunakan bahasa yang ada di jamannya).
Baiklah, akhirnya saya tonton film ini......setelah saya tonton: Kata-Kata "Hayati...Kekasihku", "Hayati Kekasihku", "Hayati Kekasihku" terngiang-ngiang di kepala. Logat Minang (yang aku tidak tahu itu benar-benar legit atau tidak) sungguh menohok pusat berpikir dan penyimpanan ingatan. Maka saya pun jadi tertawa-tawa dalam hati. Ha ha ha ha.
Bukan-bukan, bukan saya mentertawakan film ini, saya mentertawakan diri saya sendiri...
Saya belum membaca novelnya, ada rasa bersalah jika saya menilai film ini jika belum membaca karya aslinya. Tapi, film ini saya katakan bagus. Membuat saya ingin segera meng-koleksi bentuk Novelnya. Pastilah, apa yang ditekankan di Novel, bisa jadi berbeda yang diperdalam dalam film. Generasi saya, menyaksikan ini dengan lebih jelas dalam rangkaian sedekade Serial Novel Harry Potter dan film-filmnya yang juga berjarak awal dan akhir tak kalah panjangnya.Novel menjadi Film banjir hadir di masa remaja saya.
Melihat film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang bagus dan penuh makna, tak sabaran rasanya ku membaca Novelnya. Lalu aku terhenyak...
Saya membacanya di Wikipedia bahwa buku sastra yang terbit di Tahun 1939 ini (pernah) menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia. Lalu, di mana saya hidup kala novel ini jadi bacaan wajib? Bahkan katanya orang-orang Malaysia pun mewajibkannya. Iya! Di streaming online, pantas saya melihat film dari Novel ini ber-subtitle Bahasa Malaysia pula. Di negara seberang sana, pasti terkenal pulalah karya sastra ini. Kabar Wikipedia ini pastilah benar adanya. Tapi, sekali lagi di mana saya? Sekolah SD saya hingga SMA tidak pernah mewajibkan saya membaca Novel ini. Saya hanya ingat, bahwa saya gemar membaca Novel Anak-Anak Goosebumps! Meminjam sedikit Novel Lupus milik kakak-kakak saya (serta sebagian komik Serial Cantik-nya, hahahaha), mencuri-baca sekali sebuah novel berkategori "Dewasa" Ibu saya: Kincir Angin Para Dewa, Sidney Sheldon. Tapi, tak satupun dari si Buya Hamka pernah terlintas.
Apakah saat ini, sekolah-sekolah kita telah melupakannya? Melupakan kekuatan bahasa dan sastra untuk mengubah pola pikir manusia? Atau jangan-jangan setelah ada televisi, penikmat cerita lebih suka menikmatinya dalam gerak visual yang minim pesan-pesan tersirat. Ya, pesan tersirat dalam kata-kata yang justru karenanya imajinasi nilai-nilai dan pesan moral bisa terbuka seluas-luasnya. Mengasah alam berpikir manusia, membentuk prilaku dan menentukan nasib hidupnya.
Ingat sekali saya. Suatu hari di salah satu kafe roti Jogja, dosen pembimbing skripsi saya menyarankan sebuah pesan yang amat kuat soal ini. Saya datang padanya saat belum menjadi bimbingannya, dekat pun belum. Saya ke sana untuk meminta pendapat soal tema penelitian saya dan rekan-rekan. Saat itu, kami sedang mencoba ikut lomba penelitian fakultas. Dia saya kenal dosen yang terbuka dan sangat cerdas maka datanglah saya padanya.
Namun, saat itu nampaknya dia kurang suka tema penelitian saya, alih-alih dia memberikan saya masukan dengan mencoba meneliti soal pendidikan anak-anak. Soal saat ini kita selalu disuguhkan semuanya dalam bentuk visual. "Bukankan itu akan menurunkan daya asbtraksi kita?". Di akhir pertemuan, dia mengatakan mau melanjutkan membaca sebuah Novel di kafe itu. Waktu itu saya berpikir, "Hah, dosen ekonomi bisa-bisanya masih menyempatkan diri membaca karya sastra yang tidak ada bau-bau ekonominya". Di sisi lain, dialah dosen Ilmu Ekonomi ter-brilian yang pernah saya ikuti kuliahnya.
Entahlah, bangsa ini mau ke mana tanpa kebiasaan paling sederhana dan elegan: membaca. Ketika saya ditanya, "Akhir pekan mau kemana?", Saya pernah menjawab dengan "Membaca". Lalu ada kawan yang berkomentar, "Kok kayak orang tua". Saya hanya menggeleng-geleng. Apakah membaca malah jadi budaya orang tua lalu yang muda meninggalkannya. Malahan justru yang saya lihat kebanyakan dari mereka yang tua berperangai kolot dan kaku. Miskin inspirasi dan hikmah karena tertelan realita-realita dunia yang tidak menyenangkan lalu membungkus rapi-nya dalam istilah "pengalaman dan kebijaksanaan". Sekarang, mungkin anak muda mewariskan kekolotan itu dalam dua bentuk ekstrim yang berbeda: kepatuhan buta dan pembangkangan kebablasan.
Bagaimana memecah rantai ini? Apa titik awal peradaban maju? Saya berani bertaruh sepanjang hidup saya, kata kuncinya adalah membaca.Yang awal dan pertama. Ya, membaca tentu saja dengan berbeda-beda caranya. Jaman kini, membaca sastra penting untuk pendidikan anak dan remaja. Karena ia mampu memberikan pesan-pesan moral yang masuk ke dalam otak manusia. Di jaman Nabi, ini dilakukan dengan mengkaji ayat-ayat-Nya, menulis perilakunya lalu sambung-menyambung diantarkan ceritanya dalam catatan-catatan, mengantarkan pesan-pesan yang bukan hanya perintah, tapi juga kaya nasihat dan teladan. Hasilnya, lihat peradaban Islam...yang walaupun telah luntur, tapi telah hadir memberikan kontribusinya bagi peradaban umat manusia. Lihatlah Indonesia, yang walaupun jauhnya dari dua kota suci, tetap seolah kelompok manusia yang paling banyak menerima risalahnya. Ulama-ulama, dalam pendidikan agama, di mana saja harus selalu menghidup-hidupkan tradisi ini.
yang kedua...mungkin...adalah menuliskannya..seperti yang saya lakukan dalam blog ini.
Film dari Sastra Klasik Indonesia...
Tagged:
0 komentar:
Posting Komentar