Saya tidak tahu, fenomena/penyakit apa yang terjadi pada karakter saya, mungkin ada orang lain yang bisa menjawabnya, jadi bisa dikatakan begini ceritanya...
Waktu kecil sekali, usia belum sekolah dan awal sekolah ketika ditanya orang-orang dewasa, "Aul cita-citanya apa?", saya selalu dengan tegas menjawab,"Pembalap Mobil!". Hahaha, tidak tahu mengapa, saya suka saja waktu kecil melihat mobil balap (terutama mobil rally). Saya pikir normal anak kecil suka main mobil-mobilan, iya bukan?
Hal itu berubah, ketika saya masih kelas 1 SD, di lapangan bulutangkis dekat rumah saya ada anak-anak sekitar kelas 5-6 SD main bola plastik. Karena kekurangan orang sepantaran, maka yang kecil-kecil kayak saya diajak main, termasuk saya. Saya sih ikut saja. Bisa dikatakan itu mungkin awal pertama kali saya main bola dengan format "bertanding". Waktu itu gawangnya berupa satu buah kaleng, jadi dikatakan gol jika bola berhasil membuat kaleng itu jatuh. Tiba-tiba, ketika menyerang ada sebuah umpan kepada saya, saya tendang bola ke arah kaleng, dan voila! Goal! anak-anak yang jauh lebih besar dari saya terkaget-kaget, anak kelas 1 SD ini yang mencetak gol. Saya tentu saja senang, sejak saat itu saya sadar, saya bisa main bola dengan baik!
Maka tiba-tiba saja saya suka bola dan mencoba menonton bola. Dulu, kalau bapak saya nonton bola, saya belum bisa merasakan nikmatnya. Nah, ketika umur kelas 2 SD saya sudah bisa menikmati permainan sepak bola, dan waktu itu Seri-A Liga Italy adalah siaran sepakbola utama yang sering kami tonton. Hobi saya dengan sepak bola sebenarnya sangat tersalurkan, apalagi, bapak saya dulunya juga pemain sepakbola. Maka tidak heran, beberapa waktu kemudian saya minta dibelikan sebuah bola sepak, dan dengan mudah Bapak saya membelikan. Sebuah bola yang kadang-kadang jadi guling saya untuk tidur.
Saya mainkan bola itu di depan teras rumah saya. Saya pantul-pantulkan ke diding. Ya! tiba-tiba mungkin saya jadi autis, maen bola sendiri dengan tembok. Ngasal tendang, dan ketika bolanya memantul saya seketika berubah menjadi kiper. Hahahahaha, kelakuan itu sering saya lakukan di teras rumah saya yang memang mendukung saya untuk bisa bermain-main seperti itu. (Sebenarnya teras rumah, di sisinya ada kaca besar, hingga hari ini kaca itu tidak pernah pecah, padahal saya sering main bola tepat di depan kaca itu, hahahahaha). Nah, mulailah era di mana saya sangat suka dengan sepak bola.
Ketika itu, pemain sepak bola yang sedang bersinar adalah Roberto Baggio (dia menjadi pemain terbaik FIFA tahun 1993). Maka, saya yang masih kecil, tentu saja langsung mengidolakan Roberto Baggio! Lebih-lebih tayangan sepak bola yang populer di Indonesia waktu itu adalah Seri A Liga Italy. Nah, dari sinilah saya pertama kali mengidolakan seorang pemain sepak bola. Yang spesial, saya mengidolakannya hingga hari ini dan belum tergantikan oleh siapapun.
Kesukaan saya pada Roberto Baggio akhirnya mengikuti terhadap di mana sang maestro bermain. Pertama, tentu saja Italy. Mengapa? karena di tahun-tahun awal saya mengenal sepak bola ada perhelatan besar, yaitu Piala Dunia 1994 di USA. Italy dengan bintangnya saat itu, Baggio (bersama-sama dengan pemain besar lainnya, Vialli, Ravanelli, dkk), masuk ke final. Tentu saja saya sangat senang sekali. Sayangnya, ketika final Piala Dunia 1994, saya tertidur (habisnya upcara pembukaan finalnya lama sekali!). Bangun-bangun, saya mendapatkan kabar, Itali kalah oleh Brasil, adu penalti dan Baggio lah penyebab kekalahan itu. Hah?!
Setelah itu kabar Baggio tidak terlalu menyenangkan, pasca piala dunia didepak dari Juventus (atas alasannya ini pula mungkin sampai hari ini saya tidak suka Juventus :P). Entah mengapa? Konon, katanya Baggio performanya sangat menurun pasca Piala Dunia 1994 karena masih trauma. Jadi hengkanglah dia dari Nyonya Besar ke AC-Milan (AC Milan saat itu scudetto, tapi Baggio perannya tidak terlalu besar). Kemudian, Baggio pindah lagi ke sebuah tim mediocre Bologna. Di sinilah sebenarnya Baggio sedikit demi sedikit membangun kepercayaan dirinya hingga sempat menjadi Top Scorer kedua di Seri-A. Bahkan pada Piala Dunia 1998, oleh Cessare Maldini (ayah Paolo Maldini), pelatih Itali saat itu, Baggio dipanggil lagi ke timnas Itali untuk bermain di Piala Dunia 1998. Tentu saja saya senang!
Sayang langkah Italia terhenti di perempat final, dikalahkan Perancis (yang saat itu akhirnya menjadi juara), lagi-lagi lewat adu penalti. Tapi kali ini bukan salah Baggio, (tapi Di Biagio, namanya mirip!), justru Baggio dinilai sangat berperan penting bagi Italia hingga lolos ke babak perempatfinal dan memang harus takluk dengan Perancis yang saat itu diperkuat bintang legendaris, Zidane! Baggio kembali menjadi sedikit bersinar.
Itulah yang membuat Inter Milan tertarik merekrutnya (waktu itu Inter Milan bertabur bintang, salah satunya adalah Ronaldo dari Brasil). Kembali saya sangat senang karena ini berarti saya dapat menyaksikan Baggio relatif lebih sering karena siaran langsung biasanya menyiarkan tim-tim besar (bukannya yang menengah seperti Bologna). Akhirnya, Inter Milan menjadi salah satu tim favorit saya dari tahun 1998 hingga 2000. Sayangnya Inter Milan sering bermasalah, mulai dari kekalahan-kekalahan, cidera panjang Ronaldo dan lain sebagainya. Baggio akhirnya pindah ke Brescia pada tahun 2000 (dan ternyata ini adalah tim terakhirnya). Oke sekali lagi ke tim kecil, bahkan lebih kecil dari Bologna. Tapi tetap, akhirnya pada periode 2000 hingga 2004 kalau ada yang menanyakan apa tim favorite saya, maka jawaban saya tegas, "Brescia!".
Sebenarnya Baggio bermain sangat vital untuk tim sekelas Brescia, sejarahnya Brescia tidak pernah bertahan hingga 5 tahun di Seri-A (4 tahun bersama Baggio dan satu tahun selepas Baggio pensiun). Hanya ketika ada Baggio, Brescia bisa mencapai capaian seperti itu. Bahkan Brescia sempat hampir masuk zona UEFA melalui play-off Intertoto pada tahun 2001, sayang hanya berakhir menjadi Runer-Up. Jadi gelar Intertoto Cup runner-up 2001, satu-satunya gelar Eropa yang dimiliki tim kecil ini. Bersama tim kecil ini, Baggio bahu-membahu bersama Hubner, Tore hingga Pirlo (status pinjaman) membawa sedikit kebanggaan buat tim Brescia. Bahkan belakangan, kalau kita melihat permainan Pirlo, dia sangat "meniru" teknik-teknik tendangan dari Baggio. Karena di Brescia-lah Pirlo mendapatkan banyak bimbingan dari Baggio. Sayangnya Piala Dunia 2002 di Japan-Korsel, Baggio tidak dipanggil padahal rakyat Italia saat itu sangat menginginkan pemain yang kharismatik ini bermain dalam timnas Italia. Hasilnya! Italia bermain sangat buruk.
Di tahun-tahun itulah juga PlayStation sedang menjadi trend (PS1 dan PS2). Ketika orang-orang asik bermain dengan tim-tim besar, saya cuek bebek dengan bermain memakai Brescia, ya! saya benar-benar "autis" lagi. Bagi saya di lapangan kalau ada Baggio, sudah cukup membuat tim menjadi berimbang, meskipun itu hanya di dunia permainan! Saya tidak peduli, saya tetap nge-fans dengan Baggio dan Brescianya. Hingga akhirnya Baggio pensiun dari Brescia tahun 2004. Sialnya, pertandingan terakhir Baggio (AC Milan versus Brescia di San Siro), listrik di rumah saya padam! siaaaalll. Jadi saya tidakk melihat Baggio bermain di pertandingan terakhirnya. Setelah Baggio pensiun apa yang terjadi dengan saya?
Saya belum mempersiapkan "idola pengganti" bagi Baggio, hasilnya saya vakum tidak mengikuti kompetisi sepak bola internasional lagi sejak tahun 2005. Saya benar-benar belum bisa melupakan Baggio (haduh! bahaya banget). Pun, kegiatan bermain sepak bola saya tidak terlalu intens lagi seperti waktu kecil dan remaja. Saya sudah tidak main lagi sepak bola seaktif dulu karena beban SMA yang sangat....(*mengumpat!). Tapi permainan bola saya tidak lalu jelek-jelek amat, tapi tidak juga bagus-bagus amat (at least kayak Bapak saya yang memang cukup jago). Dulu waktu SMA ada Turnamen Bola Plastik antar kelas, saya masih bisa jadi Top Scorer (tapi kelas saya kalah di Final). Begitulah, akhirnya saya hanya menonton bola dan mengidolakan dua, Persiba Balikpapan dan Indonesia. Itu pun karena ada emosi kedaerahannya.
Semasa kuliah, saya masih tidak bergeming. Saya masih ahistoris dengan sepakbola. Lebih-lebih saya tidak punya TV di kos-an awal dan kontrakan awal saya. Ketika piala dunia 2006, dan Italia pun juara, saya biasa-biasa saja. Itu Karena tidak ada Baggio di sana. Tiga tahun awal, kuliah saya masih tanpa Idola. Itu berubah ketika saya pindah ke kontrakan pada tahun 2008 yang sekarang ada TV-nya dan anak-anaknya di dalamnya punya idola tim masing-masing.
Ketika akhir pekan mereka sangat seru bersetru, baik di rumah maupun di kampus. Ya! saya yang notabene dari kecil hobi sepak bola yang bahkan "melek" bolanya termasuk lebih dini daripada rata-rata orang-orang dan punya bapak mantan pemain sepak bola, menjadi yang paling kuper tren sepak bola dunia. Hahahahahaha, lagi-lagi autis. Karena tidak bisa melupakan Baggio.
Wah! tidak bisa begini. Kapan saya bisa mengjek teman saya kalau timnya kalah? kapan saya bisa "berjumawa" ketika tim saya menang? Akhirnya saya mencoba memilih satu tim yang saya "paksa" untuk idolakan. Akhirnya pilihan saya jatuh pada Chelsea! Alasannya? simpel saja... Baggio sering bermain dengan tim yang berbaju Biru (Timna Italia, Brescia, bahkan kalau mau Inter Milan ada birunya juga), lalu tim lokal daerah asal saya, Balikpapan, berbaju utama dengan warna biru. Nah, Chelsea kan warna Biru! ya saya pilih deh Chelsea! hahahahahahahaha. Di samping itu, sudah banyak teman-teman saya yang mengidolakan MU, Juventus, Arsenal, Liverpool... saya membuat pilihan yang tidak terlalu mainstream saja: Chelsea, bahkan konon tim ini dulu bisa dikatakan Tim Itali-nya di Liga Inggris, banyak pemain Itali yang dulu bermain di sini, seperti Zola dan Vialli (yang juga menjadi pelatih). Klop deh!
Demikinalah perjalanan hobi sepakbola saya. Jujur saja, di Chelsea sebenarnya saya biasa-biasa saja. Meski mereka kalah, saya hanya sedikit saja kesal. Tidak terlalu fanatik. Apalagi sampai harus menghafal yel-yel tim itu. Intinya, saya suka Chelsea karena mereka berbaju Biru! Alasan yang aneh.
Adapaun idola dalam sepakbola, saya tidak bisa berubah sampai kapanpun, tetap Baggio. Entah apakah ini bisa dikatakan saya adalah tipikal orang yang terlalu "Setia", "Melankolik", "Sentimentil"... Benar-benar, bagi saya tanpa Baggio, sepak bola itu tidak ada. Mungkin kalau suatu saat Baggio melatih sebuah tim, maka tim yang dilatihnyalah yang akan saya idolakan. Tidak peduli tim dari mana itu...
Kira-kira penyakit saya ini apa ya?
31 Mei 2011
sekali lagi sebuah "kronik" dalam hidup saya...

Roberto Baggio dan No. 10 di Brescia
Penyakit anda sama dengan sy, pokonya sampai kapanpun Roberto Baggio adalah yg terbaik dan idola sy belum ada penggantinya. Dimana pun dia berada sy akan jadi pendukungnya dulu sewaktu masih eksis bermain atau entar kalau dia akan menjadi pelatih.
BalasHapusSalam Persahabatan... Ruq
Penyakitnya sama seperti saya..
BalasHapusBerhenti nonton bola selepas baggio pensiun
Baggio - The most fantastic player no.10 ever..