Saya punya pengalaman unik ketika kelas 4 SD. Guru saya waktu itu bernama Bapak Laode Dahlan. Guru yang sampai hari ini masih membekas di hati saya sebagai guru yang paling berpengaruh pada kemampuan "intelektual" saya. Karena sejak kelas 4 SD lah, mendapat ranking kelas adalah hal yang mudah (gak tahu kenapa? Tapi belakangan sejak SMA, mendapat rangking menjadi sulit kembali, hahahahaha).
Guru SD saya itu, punya kebiasaan yang cukup ganjil. Apa itu? mungkin saya menyebutnya "insentif-disinsentif" pertanyaan di kelas berupa "tamparan". Ya! benar-benar menampar pipi anak-anak siswanya dalam arti yang harfiah. Namun dengan cara yang unik. Bagaimana itu? Yang paling saya ingat adalah saat menjawab pertanyaan matematika di depan kelas (waktu kelas 4 SD, saya belum mengenal ulangan harian atau quizz). Jadi ujian kecilnya adalah, Bapak Dahlan menulis sebuah persamaan pecahan yang cukup rumit untuk anak kelas 4 SD saat itu (perpaduan, perkalian dan pertambahan). Lalu kita seisi kelas disuruhnya menjawab. Satu-satu siswa disuruh maju di depan kelas dan menjawab, anehnya sampai siswa terakhir yang akan menjawab pertanyaan itu, tidak ada yang benar menajwab pertanyaan beliau. Giliran terakhir menjawab oleh siswa terakhir di bangku kelas (karena yang lain sudah di depan kelas berdiri), dia adalah saya sendiri.Voila! Saya menjawab dengan benar.
Satu kelas melihat saya dengan perasaan "kagum" becampur "ngeri", mengapa? Kagum... yah, mudah saja, mungkin dulu, sebelum "kecelekaan", wajah saya masih ganteng kayak Brad Pitt, hahahahahahaha (Oke bagian ini saya bercanda!). Mengapa "ngeri", karena mereka sadar disinsentif akan segera terimpa pada mereka melalui tangan saya. Asyiiiik! saya mendapat hadiah besar: Menampar pipi teman-teman saya satu kelas! (ada 30 anak satu kelas, bisa dibayangkan betapa bahagianya saya yang masih kecil saat itu!). Ups! ternyata menjawab pertanyaan sulit dengan benar saja tidak cukup sebagai bayaran atas hadiah mengasyikan itu. Sebelum saya melakukan ritual "disinsentif", karena mungkin ini hadiah yang sangat prestise, saya dipanggil sebentar oleh Pak Dahlan. Mengapa ini bisa diakatakan prestise? Mungkin karena sangat jarang ada seorang anak berhasil mendapatkan hadiah "menampar pipi satu kelas", biasanya belum sampai orang terakhir, sudah ada yang bisa menjawab pertanyaan dengan benar, sehingga hadiahnya hanyalah orang-orang sebelumnya yang menjawab salah. Kembali ke Pak Dahlan, dia memanggil saya..
"Sini Li (dari nama panggilan saya Aulia), Bapak kasih tahu dulu", kata Pak Dahlan.
"Apa Pak?", jawab saya.
"Nanti, cara kamu menampar teman-teman yang lain kayak begini ya...". Plaaak! sejurus kemudian tanganya menampar pipi saya. Aduh, sakit juga.
"Iya, pak...", saya menjawab dengan perpaduan antara memelas dan semangat. Hahahaha...
Intinya adalah Pak Dahlan tidak mau saya menjadi "penindas" tunggal di kelas. Dia menerapkan keadilan bagi semua kelas, walaupun saya menampar pipi satu kelas, saya juga setidaknya harus ditampar oleh orang lain, yaitu dia sendiri (jujur saja, sebenarnya saya yang rugi, tamparan Pak Dahlan 2 kali lipat lebih keras dibandingkan tamparan saya kepada teman-teman yang lain). Ritual ini, terjadi berkali-kali. Terkadang kita bisa mendapat jatah satu kelas, terkadang tidak. Meskipun kalau dilihat sekarang perbuatan itu sangat sadis, kami siswa-siswa yang ada menghadapi situasi itu dengan enjoy (karena toh tamparan teman sendiri tidak akan sangat keras).
Mungkin para pembaca sudah membayangkan bahwa sosok Pak Dahlan adalah sosok guru yang jahat dan bengis. Mungkin dari wajah, memang. Badannya gempal dan kulitnya gelap. Konon Nama depannya yang terdapa kata "Laode" masih keturunan raja-raja/bangsawan di Sulawesi. Tapi pada praktiknya dia adalah sosok guru yang dekat dengan siswa. Beberapa kali dia di kelas, menyelesaikan sengketa antara siswa dengan bijak (salah satunya kasus buku saya yang diambil teman satu bangku saya). Jika sedang istirahat dia tidak segan bergaul dengan siswa-siswanya. Misal, ketika dia akan menghadapi ujian (entah, saya waktu itu masih terlalu kecil itu tahu untuk apa ujian itu), dia menyodorkan soal-soalnya kepada kami di saat sedang berlatih mengerjakan soal-soal. Kami yang masih kelas 4 SD tentu saja terheran-heran dengan soal itu.."wow! susah sekali kayaknya" (jelas! kebetulan saat itu soal latihan Pak Dahlan adalah matematika, mungkin membaca notasinya saja saya bingung!). Sesekali dia memanggil saya di saat senggang dan disuruhnya saya memperhatikan tingkah laku semut dan mengambil hikmah dari sana. Sesekali dia memanggil saya untuk ke perpusatakaan. Di suruhnya saya membaca untuk tahu tentang dunia.
Ketika naik ke kelas 5 SD ada kemungkinan dia tetap mengajar kami. Tapi ternyata tanpa disangka-sangka. Dia pindah entah karena apa. Waktu itu kami masih terlalu kecil untuk mengetahui meknisme perpindahan guru-guru. Maka, kami lagi-lagi harus mendapatkan guru yang baru. Demikianlah sedikit cerita SD yang tidak pernah saya lupakan, cerita seorang guru bernama La Ode Dahlan. Sekarang saya tidak tahu dia di mana. Pun saya cari di Facebook, juga tidak ada. Apakah masih hidup atau sudah meninggal, saya juga tidak tahu. Yang jelas, sampai kapanpun kisah ini akan masih hidup di hati saya.
23 Mei 2011
NB: Awalnya, saya ingin menulis tentang tema "Sejarah dan Saya", tapi tiba-tiba berubah, karena ada salah satu "kronik" dalam kehidupan saya yang terlalu sayang untuk tidak didalami.
Cerita Pak Lao De Dahlan
Tagged:
0 komentar:
Posting Komentar