Revolusi Mental

Tidak ada yang spesial di akhir pekan ini, saya tidak ke mana-mana di waktu harinya. Kamis dan Jum'at badan terasa sudah mulai tidak enak badan, tanda mungkin week-end ini saya harus istirahat saja sambil menyelesaikan bacaan sebuah novel.

Kesimpulan 1: saya kurang olaharaga. Dengan "daya gedor" tubuh saya selama ini saya kekurangan asupan pembangun vitalitas. Dulu, mungkin di jogja dengan segala kegiatannya jauh lebih menyita pikiran dan tenaga, saya tetap rutin berolahraga. Sekarang tidak. Beruntung, pertemuan dengan sahabat di Bappenas kemarin menginformasikan bahwa ada sebuah komunitas futsal rutin yang sering dia ikuti (sebenarnya dia ikut basketnya). Gratis? Mungkin... hanya untuk ke sana saya harus naik KRL sekali.


Akhir pekan ini saya menyelesaikan sebuah Novel yang menarik berjudul, "Ayahku (Bukan) Pembohong". Lagi-lagi sebuah Novel Pinjaman (belakangan saya sadar, ada baiknya juga meminjam sebuah novel dengan tenggat waktu, kadang dengan beli Novel sendiri, entah kapan Novel itu selesai terbaca, sekarang, karena barang pinjaman, ada tenggat waktu, kegiatan pinjam-baca ini rasanya bisa menjadi rutinitas yang menarik).

Akhirnya, novel ini memberikan saya sebuah pelajaran nilai-nilai kebahagiaan hidup yang hakiki. Bercerita tentang seorang Ayah hebat yang hidup dalam sikap kezuhudan dan jauh dari riuh hingar bingar kehidupan. Fokus pada bagaimana pola mendidik anak dan keluarga. Sebuah nasehat yang baik bagi saya untuk bekal persiapan, suatu saat, menjadi kepala keluarga.

Idenya, adalah melalui sebuah cerita dari sang Ayah kepada si Anak melalui cerita-cerita. Konfliknya adalah bagaimana pada satu titik si Anak tidak percaya lagi cerita-cerita sang Ayah, karena terlalu bombastis dan tidak masuk di akal. Namun, tanpa sadar nilai-nilai cerita itu masuk dalam alam bawah sadar bagi prilaku sehari-hari si anak. Bahkan sumber inspirasinya di kemudian hari banyak datang dari cerita-cerita itu.

Lalu saya teringat kawan saya, yang pernah sama-sama menulis di Blog Ekonom Gila. Bagaimana ia dalam salah satu tulisan di blognya mengkritisi dongeng-dongeng klasik dalam negeri, seperti si Kancil misalnya, yang alih-alih memberikan nilai-nilai falsafah hidup yang baik, ia malah mengajarkan anak-anak kita untuk cerdik dalam melakukan kecurangan. Belum lagi cerita-cerita horor menakutkan yang membuat anak-anak Indonesia jadi tumbuh dalam suasana klenik dan tahayul yang kental tiada tara.

Pikiran saya lalu terbang ke program "Revolusi Mental" Jokowi yang entah sudah sampai di mana....

Bagi saya simpel, untuk bisa merevolusi mental manusia, kuncinya adalah banyak membaca hal yang positif. Mari kita lihat, apakah ada di sekolah dasar, sebuah novel atau karya sastra klasik yang menjadi buku wajib bagi anak Indonesia untuk dibaca. Apakah ada sekolah yang punya mata pelajaran "Membaca" (yang mungkin selama ini hanya masuk dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia). Sudah sampai di mana budaya literasi kita?

Saya yakin, otak dan hati adalah satu kesatuan. Bacaan dan nasehat yang baik adalah asupannya. Otak dan Hati adalah penggerak sikap dan kepribadian. Integritas dan idealisme bermula dari Otak dan Hati yang mapan dan sehat dengan asupan-asupan yang bergizi. Lalu, sudahkah kita memberikan asupan itu pada anak didik?

Lalu, apa yang Pemerintah yakini tentang merevolusi mental?





0 komentar:

Posting Komentar