I.E.L.T.S

Ini adalah posting saya yang setelah lebih dari satu bulan tidak "nge-post", akhirnya buat lagi yang baru.


Emmm... saya jadi bertanya-tanya mengapa selama satu bulan ini saya tidak mem-posting blog, padahal jika dilihat,  kegiatan-kegiatan yang memiliki signifikansi penting untuk dicatat di kronik sejarah saya dalam blog yang tidak penting ini cukup banyak. Seperti Dinas Luar Kota ke Palu, yang dalam rangka mejadi penggembira acara MP3EI, berkunjung ke rumah Andhisa untuk menjenguk anaknya yang tanpa terasa sudah berumur satu tahun, membaca novel cinta anak muda, The Fault in Our Stars, karangan John Green, tokoh yang saya favoritkan dalam kreatifitas ilmu pengetahuannya, mengikuti "seminar" yang bertajuk "Super Mentor" yang mendatangkan Sri Mulyani, Ridwan Kamil dan Susi susanti yang acaranya karena dekat kos dan atau kantor (Djakarta Theatre) membuat saya tumben-tumben datang, hingga hal-hal kecil yang sebenarnya sangat disayangkan untuk tidak tercatat (17 Agustus 2014 yang saya lewatkan dengan istirahat seharian di kos, karena libur agustusan kali ini jatuh pada hari minggu dan membuat kecewa banyak pekerja kantoran seperti saya). Tapi semua itu ter-distract-ki oleh sebuah momen penting gak penting: tes IELTS.

Lalu jadilah selama sebulan terakhir jam-jam pasca kantor saya (jika tidak ada rapat konsinyering atau dinas ke luar kota) saya gunakan untuk latihan menulis dalam bahasa Inggris.Selama kuliah, walau sudah terbiasa membaca literatur-literatur bahasa inggris, saya tidak pernah terbiasa untuk menulis dalam bahasa itu. Membaca mungkin lebih mudah karena asal kita tahu poin utamanya, kita tidak perlu repot-repot membiasakan mengetahui bagaiman cara membuat kalimat itu yang tentu saja sangat mempertimbangkan aspek grammar. Alhamdulillah, saya terbiasa menulis, tapi menulis dalam bahasa asing...hmmm tunggu dulu. Empat mata materi yang diujikan di IELTS adalah Listening, Reading, Writing dan Speaking). Writing menjadi kelemahan utama saya dalam versi penilaian diri sendiri. Lagi-lagi karena writing kental akan grammar. Maka pada tes IELTS kali ini saya fokuskan pada latihan MENULIS Bahasa Inggris.

Ternyata dari sisi subtansi, seandainya saja tes menulis itu memakai bahasa Indonesia, saya sangat suka sekali. Karena tes menulis IELTS itu sangat "gue" sekali. Misalnya ada grafik, tabel, chart, dan lain sebagainya. Lalu kita disuruh medeskripsikannya dengan sistematis. Yap! saya mampu. Lalu jenis tes yang lain adalah memaparkan opini. Ya! Saya juga suka. Namun sekali lagi ini tes IELTS yang kepanjangannya adalah International English Language Testing System bukan IBITS ( International Bahasa Indonesia Testing System, hahahaha).

Syukurlah, walaupun saya hidup dengan style introvert, saya memiliki banyak teman dan koneksi yang kejagoan bahasa inggrisnya tidak diragukan dengan bermacam-macam spesialisasinya. Ada yang secara natural jago bahasa inggris karena konon lahir dan besar di luar negeri yang berakhir pada nilai iBT 117, ada pula yang secara sistem menguasai grammar bahasa Inggris dengan basic displin ilmu formal yang terlisensi (dalam bentuk Ijazah S1), lebih-lebih fokusnya adalah lingustik. Hmmm si iBT117, dengan nama ian bulu, menjanjikan untuk membantu saya dalam masalah speaking... tapi ia tertular virus khas anak ilmu ekonomi: pembuat mitos sejati. Semua berakhir pada SUMPAH Aulia mendapatakn nilai iBT 118 mengalahi si ian bulu. Konon dia sibuk dengan pekerjaannya. Di sisi lain, tyas si Linguistics Woman, seperti biasanya mau membantu saya dengan segala penguasaanya. Syukurlah, saya bisa latihan writing dengan bimbingan orang yang berilmu. Hebatnya lagi, kolaborasi ini menggunakan Google Docs! YEAAAAH, akhirnya setelah sekian lama mimpi saya untuk memafaatkan kolaborasi cloud terwujud juga!

I.E.L.T.S itu saya rasakan pula pada tanggal 20 September 2014...so far, saya happy, terutama reading karena topicnya adalah History! (yeaaah, ada Hegel yang ngomongin proses dialektika!). Tapi saya agak kikuk dengan Speaking, karena kok rasanya beda sama buku-buku latihan yang saya baca selama ini tentang urutan-urutannya. Fuuuuhh, dalam hati kecil yang tidak objektif, saya menyalahkan si ian bulu yang tidak punya waktu membantu speaking saya. Tapi di sisi lain saya juga sadar bahwa biaya private bahasa Inggris itu cukup mahal. Dia punya alasan yang sangat Ilmu Ekonomi untuk menolak permintaan tolong saya dan dengan logika Ilmu Ekonomi saya menyimpulkan itu baik-baik saja. Hahahaha






0 komentar:

Posting Komentar