Jodoh Itu Seperti Chelsea Juara Liga Champion

Tidak ada satu pun pengamat dan pecinta bola yang memrediksi bahwa Chelsea akan menjuarai Liga Champion musim 2011-2012, bahkan fans-nya pun saya pikir tidak.Tapi sekarang Chelsea lah yang keluar sebagai juaranya.

Bayangkan, Chelsea di awal musim 2011-2012 mengawali musim mereka dengan amat buruk. Chelsea yang setelah era Abrahamovic selalu bisa bertarung di 4 besar Liga Inggris, kali ini harus terombang-ambing di wilayah papan tengah, bahkan jika dilihat dari hasil akhir kompetisi Liga Utama Inggris (EPL), Chelsea hanya bisa finish di posisi ke-6. Secara normal, Chelsea tidak bisa mengikuti Liga Champion musim depan. Benar-benar sebuah pretasi yang amat memilukan bagi sebuah tim yang terlihat konsisten selama hampir satu dekade.

Orang-orang pun akhirnya beranggapan bahwa dengan perjalanan Chelsea yang buruk di Liga Inggris, maka Chelsea di pentas eropa melalui Liga Champion pastinya hanya akan menjadi pelengkap dan hiburan saja. Chelsea sedang bermain jelek sekali, dan di luar sana Barcelona dan Real Madrid sedang menjadi tim yang menggila (Real Madrid, juara Liga Spanyol musim ini dengan memecahkan rekor poin terbesar sepanjang sejarah Liga Spanyol).

Chelsea nampaknya frustasi, sampai-sampai harus memecat Boas sang pelatih baru Chelsea musim ini dan membiarkan asistennya, Roberto Di Matteo, memegang tampuk kepepimpinan Chelsea hingga musim berakhir. Hal ini sangat berbeda dengan kejadian tahun 2009, ketika Mourinho dipecat dan hengkang dari Chelsea, manajemen Chelsea langsung menunjuk pelatih hebat lainnya, yaitu Gus Hidink (prestasinya adalah mengantarkan Korea Selatan hingga Semi Final pada tahun 2002) untuk menahkodai Chelsea untuk sisa musim. Saat itu Chelsea masih bermain cukup kompetitif, adapun Mourinho dipecat karena terjadi konflik dengan pemilik Chelsea. Nah, bisa dilihat bahwa, penetapan Roberto Di Matteo yang notabene hanya asisten pelatih menunjukkan sinyal bahwa Chelsea sudah beranggapan, "Ya sudahlah, biarkan si Robi (panggilan akrab Roberto Di Matteo) yang menjalankan, yang penting bisa finish di 4 besar Liga Inggris, itu sudah luar biasa". Tapi justru semua berubah ketika Roberto Di Matteo hadir di depan.

Chelsea semacam menemukan gairahnya kembali...di Inggris namun dengan kejuaran yang berbeda, Chelsea diam-diam masuk final Piala F.A dan berhasil mengalahkan Liverpool di Final. Semua di saat era kepelatihan "cadangan" Roberto di Matteo. Kembali ke Liga Champion, Roberto Di Matteo memulai perdana kepelatihannya bagi Chelsea di liga tersebut saat Chelsea harus menghadapi Napoli di babak peredelapan final. Leg pertama dengan Napoli, Chelsea sudah tertinggal 3-1. Hasil tersebut seolah sudah menjadi jalan buntu bagi Chelsea untuk terus berada di Liga Champion. Tapi fakta berbicara lain, Di bawah Robi, Chelsea akhirnya bisa membalas kekalahan atas Napoli dengan skor lebih telak: 4-1. Ini berarti Chelsea bisa melanjutkan ke babak selanjutnya. Di perempatan final, Chelsea bermain konsisten, dan Benifica sebagai lawannya harus mengakui keunggulan Chelsea di kedua leg. Chelsea lolos ke Semi Final.

Banyak yang memprediksi bahwa Chelsea akan berhenti di Semi Final mengingat lawannya kali ini bukan main-main: Barcelona. Tapi takdir berkata tidak seperti itu. Bahkan pertandingan Chelsea vs Barca penuh sekali "keajaiban-keajaiban". Di Leg pertama, Chelsea bisa unggul 1-0 atas Barcelona meskipun saat itu Barcelona bermain sangat dominan. Di Leg kedua, Chlesea yang sudah tertinggal 2-0 dan harus bermain dengan 10 orang bisa menahan Barca 2-2. Anehnya, pada partai tersebut, Messi yang notabene pemain terbaik dunia versi FIFA saat ini, gagal melaksankan tugasnya. Padahal Messi adalah bomber yang handal dan di Liga Champion dia adalah top skorer. Di saat bola dalam posisi paling mudah untuk dicetak menjadi gol, yaitu penalti, Messi justru gagal! Seandainya saja Messi mencetak gol pada saat itu, Barca akan mendapat kondisi yang lebih menguntungkan dan kemungkinan sangat besar bisa lolos ke babak selanjutnya. Tapi Chelsea akhirnya bisa masuk final bertemu dengan Bayern Munich. Semua orang kebingungan dengan prestasi Chelsea saat itu.

Di Final, lebih dramatis lagi. Saya catat ada 3 fase dramatis Chelsea vs Bayern Munich. Pertama, saat pertandingan berjalan buntu dengan hasil imbang 0-0, gol Bayern Munich melalui Mueller baru tercipta pada menit ke-83. Ini adalah gol yang sangat menyakitkan sekali, mengingat ini berarti bahwa jika Bayern Munich bisa mempertahankan keadaan dalam 7 menit saja, maka merekalah yang berhak menjadi juaranya dan Chelsea harus puas sebagai runner-up. Tapi takdir berkata berbeda, 5 menit kemudian, Drogba berhasil mencetak gol bagi Chelsea. Ini hanya 3 menit sebelum waktu normal selesai. Hasil imbang 1-1 pun terjadi justru di 7 menit akhir pertandingan normal dari total 90 menit yang tersedia.

Akhirnya, perpanjangan pun dijalankan selama 2 x 15 menit. Dramatis kedua: Bayern Munich mendapat penalti setelah Franck Ribéry dilanggar oleh Drogba.  Robben sang eksekutor kembali berpeluang membuat gol dan ini mempermudah jalan Bayern Munich untuk juara. Drogba yang sempat menjadi penyelamat nafas Chelsea, terancam menjadi kambing hitam kekelahan Chelsea. Tapi yang terjadi sangat mengejutkan, kiper Chelsea, Peter Chech, mampu menggagalkan tendangan penalti dari Robben. Semua orang seolah tidak percaya dan teringat kegagalan Messi pada Semi Final sebelumnya. Sudah dua orang yang menjadi korban "keberuntungan" Chelsea selama ini, Messi dan Robben harus merasakan bagaimana rasanya gagal mencetak gol dari titik penalti ke gawang Peter Chech. Tragis.

Akhirnya babak melanjut ke drama adu penalti. Dramatis ketiga: Di awal, Chelsea sempat tertinggal karena algojo pertamanya, Juan Matta gagal. Ini memperkecilkan peluang Chelsea untuk meraih gelar juara. Tapi justru di 2 tendangan penalti yang akhir, Bayern Munchen harus mengalami kegagalan (padahal 3 bomber awalnya sukses melaksanakan tugas menendang penalti). Eksekusi penedang ke-4 Bayern Munchen, Ivica Olic berhasil ditepis oleh Peter Chech. Hal itu membuat posisi dan kondisi kembali menjadi seimbang. Lalu, pada fase penendang ke-5, sepakan Bastian Schweinsteiger hanya membentur tiang kiri gawang. Ini berarti, jika Drogba pada tendangan ke-5 bisa memasukan gol, maka Chelsea lah yang keluar sebagai juaranya.

Saya yakin saat itu perasaan fans Chelsea teradu-aduk, juga para fans Bayern Munchen. Seorang yang menjadi pemerpanjang nafas Chelsea, lalu hampir jadi kambing hitam, sekarang menjadi algojo bagi sebuah sepakan penalti yang benar-benar menentukan juara atau tidaknya Chelsea. Ekspresi Drogba begitu tenang dan meyakinkan. Dan Akhirnya! GOOOOOL. Chelsea juara untuk pertama kalinya di Liga Champion.

Inilah semacam takdir, tidak ada yang menyangka sebelumnya. Chelsea yang bermain buruk dan hanya di bawah pelatih sementara bisa menyabet Piala Champion. Sudah banyak uang yang digelentorkan Abrahamovic sebagai pemilik Chlesea, pemain-pemain hebat dan pelatih-pelatih hebat sudah pernah didatangakannya. Musim-musim hebat dilalui Chelsea, tapi tidak ada satupun yang mampu mepersembahakan gelar juara Liga Champion. Justru di saat kondisi Chelsea terpuruk, di saat pelatihnya yang dulu nya  hanya asisten pelatih, Chelsea akhirnya menyabet gelar juara itu. Buku takdir telah menuliskan bahwa Chelsea lah yang menjadi juaranya, tidak ada yang bisa mengubahnya.

Seperti itulah jodoh, kalau kata Benyamin S dalam lagu Hujan Gerimis Aje, "Kalau Memang Jodoh Gak Kemana..."

2 komentar: